PETILASAN MAKAM PAKU WOJO

Administrator 08 November 2019 08:27:37 WIB

Makam Pangeran Paku Wojo secara administrative terletak di Dusun Tulung, Kalurahan Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY. Lokasi makam Pangeran Paku Wojo dapat dijangkau melalui Jl. Parangtritis Km 17. Pada kilometer tersebut akan ditemukan pertigaan ke arah timur yang mengarah ke Pasar Pundong. Jarak antara pertigaan tersebut dengan Pasar Pundong kurang lebih 3 kilometer. Lokasi makam Pangeran Paku Wojo berada di sisi utara dari Pasar Pundong ini pada jarak sekitar 400 meter.

 

Kondisi Fisik

Makam Pangeran Paku Wojo berada di tengah areal persawahan. Untuk menuju lokasi ini relatif sulit karena akses jalan ke lokasi bisa dikatakan memang tidak ada. Pematang sawah yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai jalan sering tertutup oleh kerimbunan tanaman tebu yang membuat pengunjung kesulitan untuk menitinya.

 

Kompleks makam ini berada dalam naungan pohon randu alas yang cukup besar, pohon kamboja, dan cemara. Belukar dan semak juga tampak mengitari kompleks makam ini. Dengan demikian, keberadaannya yang demikian sering menimbulkan perasaan seram.

 

Kompleks makam Pangeran Paku Wojo memiliki ukuran luas kurang lebih 6 m x 7 m. Sedangkan batu nisan dari Pangeran Paku Wojo sendiri dan istrinya terbuat dari batu andesit dalam bentuk atau wujud yang sederhana. Panjang batu nisan keduanya sekitar 125 Cm, lebar 35 Cm, dan tinggi 50 Cm.

Latar Belakang

Pangeran Paku Wojo sering dikenal juga dengan nama Mbah Bathil. Sumber setempat tidak bisa menerangkan dengan memuaskan mengenai asal-usul Pangeran Paku Wojo. Hanya saja disebutkan bahwa Pangeran Paku Wojo merupakan salah seorang tokoh yang memimpin sebuah kelompok. Kelompok mereka ini hidup di Hutan Mentaok sisi selatan. Meskipun demikian, tidak pernah diketahui pada periode atau tahun berapa pangeran Paku Wojo ini hidup. Sumber setempat menyebutkan bahwa Pangeran Paku Wojo kemungkinan besar hidup ketika Mataram atau Mangir belum berdiri. Kehidupan antarkelompok saat itu sering bergesekan, bersaing, dan berkembang menjadi sebuah peperangan. Demikian pun seperti yang dialami oleh kelompok Pangeran Paku Wojo.

Diceritakan oleh sumber setempat bahwa dalam peperangan antarkelompok tersebut Pangeran Paku Wojo mengalami kekalahan sehingga ia harus melarikan diri. Dalam pelariannya itu Pangeran Paku Wojo pernah merasa terganggu oleh datangnya seorang pengemis yang selalu menguntit dan meminta sesuatu kepadanya. Apa yang dilakukan oleh pengermis tersebut di samping membuatnya risih juga membuat tempat persembunyiannya diketahui oleh musuhnya. Hal ini menyebabkan Pangeran Paku Wojo mengeluarkan kutukan. Isi kutukan itu menyebutkan bahwa pengemis dan keturunannya kelak akan tetap menjalani profesi sebagai pengemis, bukan orang yang mandiri. Artinya, hidupnya hanya menggantungkan belas kasihan kepada orang lain.

Pelarian Pangeran Paku Wojo akhirnya sampai pada sebuah anak Sungai Opak. Anak Sungai Opak tersebut ketika itu sedang kering airnya yangd alam bahasa Jawa disebut sebagai asat. Sungai kering itulah yang kemudian dijadikan sebagai sarana jalan bagi pelarian Pangeran Paku Wojo dan kelompoknya. Berdasarkan peristiwa itu Pangeran Paku Wojo kemudian menamakan daerah itu menjadi Dusun Klisat. Istilah klisat ini berasal dari kali asat ’sungai kering’. Dusun ini sampai sekarang masih dapat ditemukan. Letaknya tidak begitu jauh dari Dusun Tulung, Pundong.

Pangeran Paku Wojo akhirnya naik dari kali asat tersebut menuju ke sebuah dusun yang kala itu penduduknya masih sangat jarang. Ia kemudian mohon ijin untuk tinggal di dusun tersebut. Ketika ia tinggal di dusun tersebut ia merasa ditolong. Baik ditolong soal pemukimannya, finansialnya, maupun keamanannya. Oleh karena persitiwa itu maka Pangeran paku Wojo kemudian menamai dusun tersebut dengan nama Dusun Tulung.

Berkaitan dengan nama Mbah Bathil yang menjadi nama aliasnya, hal ini pun memuati kisah tersendiri. Ceritanya, pada saat Pangeran Paku Wojo ini singgah atau bersembunyi di dusun yang sekarang dengan Dusun Tulung, ia disarakan untuk mbathili ’memotong rambut secara serampangan’ rambutnya. Hal demikian perlu dilakukan agar musuh yang mencarinya tidak mengenalinya lagi. Pangeran Paku Wojo pun mengikuti saran sesepuh dusun setempat. Sejak itu pula ia aman dari kejaran musuh-musuhnya. Berdasarkan peristiwa itu Pangeran Paku Wojo kemudian dikenal juga dengan nama Mbah Bathil.

 

Broto Karno (90) selaku sesepuh Dusun Tulung menyebutkan bahwa pada masa lalu makam ini relatif banyak diziarahi orang. Kini peziarahan tersebut bisa dikatakan sangat berkurang.

 

Komentar atas PETILASAN MAKAM PAKU WOJO

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Komentar
Isikan kode Captcha di atas
 

Website desa ini berbasis Aplikasi Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang diprakarsai dan dikembangkan oleh Combine Resource Institution sejak 2009 dengan merujuk pada Lisensi SID Berdaya. Isi website ini berada di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International (CC BY-NC-ND 4.0) License